Terangkan Kelamku



Ku buka perlahan-lahan mata ini dari kelamnya mimpi. Satu demi satu ku pandangi sudut-sudut ruangan sempit ini, aku bersyukur akhirnya awal kebahagiaan datang menghampiri dan mengahapus semua kehidupan kelam dalam memori yang sebelumnya menyiksa batin ini. 

Pprrriiaarrr, prraankkk. “Pergi kamu dari sini, istri yang tidak tahu diuntung!”, “Kamu yang seharusnya pergi, sudah berbulan-bulan kamu tidak bekerja mau kamu kasih makan apa aku!”
Hal ini terulang kembali, pertengkaran orang tuaku yang setiap hari mengusik ketentraman batinku. Dengan rasa ketakutan yang mengahantui, aku pergi meninggalkan istanaku, istana yang penuh dengan amarah di dalamnya. Langkah ini menuntunku ke sekolah, entah mengapa aku lelah dengan kehidupanku sendiri.
Bel berbunyi, awal pelajaran dimulai. Inginku bersamangat untuk menuntut ilmu tetapi tak bisa. Detik-detik waktu berjalan mengiringi lamunan yang aku lakukan dari pelajaran awal hingga  waktu istirahat ini.
“Sindi, kamu kenapa? Ada malasah ?” seorang gadis yang sebaya denganku menghancurkan lamunanku.
“Enggak ada kok Jum.” balasku dengan tersenyum.
“Hm. beneran?" jawabnya
"Enggak juga sih." senyumku
"Bagaimana kalau kamu ikut aku kabur dari pelajaran Pak As, pelajaran matematika Sin?” ajak Jum.
“Enggak jum, aku takut.” tolakku.
“Sekali-kali tak apa Sindi.” bujuk Jum.
Setelah aku berfikir, ada benarnya kata-kata Jum dan akupun menyetujuinya. Dengan cepat aku dan Jum menuju ke belakang sekolah dan melompat pagar.
Ku menapakkan kaki ini dengan tawa yang mengiringi. Aku dan Jum sudah layaknya kawan lama. Padahal sekian lama aku bersekolah, seorang Jum tak pernah berbicara denganku. Ternyata dia meyenangkan walau sedikit menakutkan parasnya.
“Selamat datang di tempatku, kenalkan ini teman-teman aku, yang kecil bernama Citra, sedikit hitam namanya Ani.” kata Jum.
“Kenalkan namaku Sindi” balasku dengan senyuman.
“Pasti kamu suka ditempat ini, gak bakalan menyesal.” cetus Citra.
“Semoga” kataku.
Apa yang dibanggakan dari tempat seperti ini, bau rokok, banyak botol-botol bekas dan kotor. Keheranan yang kini membayangi.

Ternyata mereka baik, benar kata Citra disini menyenangkan. Tiba-tiba ada hal yang mengganjal dari perilaku mereka. Mereka mengeluarkan lima bungkus rokok dan minuman di botol hijau. Aku hanya diam dan tak memperdulikan.
“Kamu mau?” tawar Jum.
“Enggak, terimakasih”  jawabku.
“Takut sama mama?” Tanya Ani.
“Iya.” anggukku
“Gak apa-apa, sekali ajah” tawar Citra
“Enggak deh, kapan-kapan ajah ! dan aku pulang dulu ya.” jawabku
“Iya sudah, besok pagi kesini ya?” ajak Citra.
“Oke, enggak janji ya.” balasku sambil meninggalkan mereka.
Keesokan harinya, lagi-lagi mama dan papa bertengkar, entah apa yang mereka perdebatkan. Tanpa memperdulikan mereka aku pergi ketempat kemarin aku berkumpul bersama teman-teman.
“Hai Sindi,” sapa Jum.
“Sudah datang dulu ternyata.” jawabku.
“Enggak takut ketahuan mama kalau enggak sekolah Sin?” tanta Citra.
“Mama dan Papa tak pernah peduli aku.” jawabku.
“aku tahu perasaanmu, itu juga yang aku alami Sindi” kata Citra.
“sudah jangan pada sedih, gimana kalau minum ini dulu.” ajak Jum.
Akhirnya aku mau ikut-ikutan mereka dan tenyata ngerokok dan minum tak semenakutkan yang aku bayangkan dan itu juga menyenangkan.
Hal-hal yang aku lakukan setiap hari hanya berkumpul dengan mereka disini. Akhirnya aku temukan kebahagiaan tanpa beban bersama mereka. Sehari tak cukup untuk diriku menghisap tiga batang rokok dan seteguk air itu.
“Ini barang terdasyat yang pernah aku coba, nyaman banget rasanya kalau make ini.” tawar Jum.
“Apa ini? Haraganya?” tanyaku.
“Sementara ini kamu coba, kalau enak baru beli.” jelas Citra.
“Kamu juga make, Ni?” tanyaku
“Dari dulu Sin” jawab Ani.
Aku putuskan untuk mencoba, setelah beberapa saat perasaanku mulai tenang, tentram bagai di surga tak ada perasaan duka.
Sepertinya aku membutuhkan barang itu, agar aku tak merasakan tersiksanya batin ini. Setiap hari aku membelinya di Jum, sehari saja aku tak bersama barang itu ingin saja ku akhiri hidup ini. Ku berbaring di ranjang terindahku dan tiba-tiba Mama dan Papa bertengkar , tetapi ini berbeda baru kali ini mereka menyebut namaku dipertengkaran mereka. Dengan perasaan penasaran aku menghampiri mereka.
“Itu anak kamu, tanya saja sendiri !”  bentak Papa sambil menunjukku.
“Kamu sebulan tidak sekolah kemana saja?” tanya Mama kepadaku.
“Main, tumben mama nanyain kehidupanku ?” tanyaku dengan nada tak bersalah.
“Papa tadi dipanggil ke sekolah, katanya kamu enggak masuk sekolah satu bulan dan uang sekolah juga nunggak tiga bulan? Kamu kemanakan uang itu?”  bentak Mama.
“tak tahu.” jawabku sambil lari menuju kamar.
Kubuka pintu kamar dan kurebahkan tubuh ini diranjang dan tidur untuk menghilangkan rasa kegelisahan.
Pagi ini kuputuskan untuk berkumpul bersama Ani, Citra dan Jum seperti biasa. Namun ada sesuatu hal yang aneh, disana kutemukan Jum tergelatak tak berdaya dengan mulut berbusa. Citra, dia dibawa oleh ambulan dan Ani dikerumuni oleh anggota polisi. Tiba-tiba tanganku diborgol oleh sesorang yang berseragam seperti mereka,. Tuhan, ada apa ini? Mengapa diriku seperti buronan. Aku dibawa ke tempat rehabilitasi, diintrogasi dengan berjuta-juta pertanyaan. Aku juga melihat ada Mama dan Papa diluar ruangan menangisiku, dan akhirnya aku dibawa ke sebuah ruangan yang sempit dan kotor.
Sepi dan sunyi tak ada seorangpun yang menemani, aku teringat bahwa aku masih mempunyai barang itu yang aku selipkan di bandana yang aku kenakan. Aku buka barang itu dan perlahan-lahan aku memakainya.  Setelah beberapa lama kepalaku mulai pusing, aku tak tahu bagaimana rasa sakit ini untuk dijelaskan dan hitam kini yang ku lihat.
Saat aku membuka mata dari tidur panjang ini, aku baru tahu bahwa aku terlelap selama tiga hari dan akupun  tersadar bahwa apa yang aku lakukan itu salah, aku juga tak mau nasibku sama seperti Ani, Citra dan Jum. Disisi lain Mama dan Papa dengan akurnya menemaniku disini, aku tak mau meninggalkan mereka, aku sayang mereka.
“semangat ya sayang.” kata mama memelukku.

“Terimakasih Tuhan telah kau terangkan kehidupan kelamku dan kebahagiaan yang datang menyambutku, dan izinkanlah hambamu kuat untuk melanjutkan terapi ini hingga hambamu benar-benar sembuh.”batinku.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 Larasati Maghtilda IX6. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy